Minggu, 18 Maret 2012

Pengaruh Kebisingan


PENGARUH KEBISINGAN
Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan. yang penting (Slamet, 2006). Sedangkan kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitasaktifitas alam (Schilling, 1981).
Bunyi merupakan perubahan tekanan dalam udara yang ditangkap oleh gendang telingadan disalurkan ke otak. Tekanan diukur dalam pascal (Pa). Ambang pendengaran manusia diperkirakan 0,00002 Pa. Frekuensi bunyi paling rendah yang dapat dideteksi oleh telingamanusia ialah sekitar 20 Hz dan yang paling tinggi, pada orang muda sampai 18 KHz. Dengan bertambahnya usia, telinga makin kurang peka terhadap frekuensi tinggi. Penggandaan frekuensi akan meningkatkan nada not sebesar satu oktaf. Telinga paling peka terhadap suara antara 500 Hz - 4 kHz, diantaranya 500 Hz . 2 kHz adalah frekuensi bicara. Kecuali nada murni yang tidak lazim, banyak kebisingan terdiri atas banyak frekuensi dan intensitas (Harrington dan Gill, 2005).
Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka
bising dibagi dalam 3 kategori:
1.      Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) yaitu bising  yang disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja, misal bising dari mesin ketik.
2.       Audible noise (bising pendengaran) yaitu bising yang disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31,5 . 8.000 Hz.
3.      Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) yaitu bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak, misal pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil.
1.      Dampak – Dampak Kebisingan
Dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kebisingan adalah efek kesehatan dan non kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena telinga tidak diperlengkapi untuk melindungi dirinya sendiri dari efek kebisingan yang merugikan. Bunyi mendadak yang keras secara cepat diikuti oleh reflek otot di telinga tengah yang akan membatasi jumlah energi suara yang dihantarkan ke telinga dalam. Meskipun demikian di lingkungan dengan keadaan semacam itu relatif jarang terjadi. Kebanyakan seseorang yang terpajan pada kebisingan mengalami pajanan jangka lama, yang mungkin intermiten atau terus menerus. Transmisi energi seperti itu, jika cukup lama dan kuat akan merusak organ korti dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketulian permanen (Harrington dan Gill, 2005).
Secara umum telah disetujui bahwa untuk amannya, pemaparan bising selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dBA. Pemaparan kebisingan yang keras selalu di atas 85 dBA, dapat menyebabkan ketulian sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah.
Gangguan kesehatan lainnya selain gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena energy kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran keringat. Sebagai tambahan, ada efek psikososial dan psikomotor ringan jika dicoba bekerja di lingkungan yang bising (Harrington dan Gill, 2005).
Pengaruh buruk kebisingan, didefinisikan sebagai suatu perubahan morfologi dan fisiologi suatu organisma yang mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional untuk mengatasi adanya stress tambahan atau peningkatan kerentanan suatu organisma terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan, termasuk pengaruh yang bersifat sementara maupun gangguan jangka panjang terhadap seseorang secara baik secara fisik, psikologis atau sosial. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunikasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku permukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari.
 Dampak dari kebisingan di lingkungan perumahan terhadap kesehatan masyarakat antara lain gangguan komunikasi, gangguan psikologis, keluhan dan tindakan demonstrasi. Sedangkan kebisingan dilingkungan kerja/ industri dapat berdampak lain keluhan gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasim gangguan keseimbangan, serta gangguan terhadap pendengaran (ketulian).
Lebih jelasnya lagi adalah :
1. Gangguan Fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, gangguan metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan dalam jangka waktu lama akan menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastritis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi ni menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan terutama bagi pekerja baru yang belum berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunnya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja.
4. Gangguan keseimbangan
Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis seperti kepala pusing, mual, dan lain-lain.
5. Gangguan terhadap pendengaran (ketulian)
Diantara sekian banyak ganguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan terhadap pendengaran adalah ganguan yang paling serius karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus-menerus ditempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli.
Tuli sementara (Temporary treshold Shift = TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi, maka akan menyebabkan penurunan daya pendengaran yang bersifat sementara. Jika melakukan istirahat dengan waktu yang cukup maka daya pendengarannya akan pulih kembali ke ambang dengar semula dengan sempurna.
Tuli menetap ( Permanenet Treshold Shift = PTS)
Biasanya akibat waktu paparan yang lama (kronis). Besarnya PTS dipebgaruhi oleh faktor-faktor berikut :
ü Tingginya level suara
ü Lama paparan
ü Spektrum suara
 2.Baku Mutu Tingkat Bebisingan
Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama/terus menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk diketahui bahwa di dalam menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada respon masing-masing individu (Keputusan MENLH, 1996).

2.      Teknik Penangananan Kebisingan
·         Penanganan Kebisingan pada sumber
Penanganan kebisingan pada sumber bising dapat dilakukan melalui beberapahal, antara lain:
1) Pengaturan lalulintas;
2) Pembatasan kendaraan berat;
3) Pengaturan kecepatan;
4) Perbaikan kelandaian jalan;
5) Pemilihan jenis perkerasan jalan.
·         Penanganan kebisingan pada jalur perambatan
1) Tipe, karakteristik, dan pertimbangan implementasi;
2)Pemasangan peredam bising (BPB);
3)Penghalang dengan tanaman;
4)Timbunan;
5)Penghalang buatan.
·         Penanganan kebisingan pada titik penerimaan
1)Pengubahan orientasi bangunan;
2)Insulasi pada  façade bangunan (Badan Litbang PU, 2005)
3.        Jenis- Jenis Barrier untuk Mengurangi Kebisingan
a)  Pemasangan Peredam Bising (BPB)
            Penghalang bisning (barrier ) adalah suatu pemecahan yang paling baik  pada kebisingan akibat kendaraan tersebut, dan merupakan satu-satunya pilihan untuk pengendalian kebisingan akibat kendaraan yang melaju di jalan raya. Sejak tahun 1970 penghalang bising menjadi metoda yang paling popular pada pengendalian kebisingan jalan raya. Untuk menyelidiki sejauh mana penghalang bising dapat efektif menurunkankebisingan tersebut, maka pengukuran model skala adalah yang mudahdan murah untuk dilaksanakan. Metoda ini sudah banyak diteliti orang,tetapi hampir semuanya menggunakan domain frekuensi (Rusjadiet al,1999).
BPB bekerja dengan memberikan efek pemantulan (insulation), penyerapan (absorption),  dan pembelokkan ( diffraction) jalur perambatansuara Pemantulan dilakukan oleh dinding penghalang, penyerapan dilakukan oleh bahan pembentuk dinding, sedangkan pembelokan dilakukan oleh ujung bagian atas penghalang.

b)      Penghalang Dengan Tanaman
Tanaman yang digunakan untuk penghalang kebisingan harus memiliki kerimbunan dan kerapatan daun yang cukup dan meratamulai dari permukaan tanah hingga ketinggian yang diharapkan. Untuk itu, perlu diatur suatu kombinasi antara tanaman penutup tanah, perdu,dan pohon atau kombinasi dengan bahan lainnya sehingga efek  penghalang menjadi optimum. Tanaman-tanaman yang dapat digunakan adalah:
·         Penutup Tanah (cover crops)
a. Rumput; 
b. Leguminosae.
·         Perdu
a. Bambu pringgodani (Bambusa Sp); 
b. Likuan-yu ( Vermenia Obtusifolia);
c. Anak nakal (Durante Repens);
d. Soka (Ixora Sp);
e. Kakaretan ( Ficus Pumila)
·         Pohon
a. Akasia (Acacia Mangium); 
b. Johar (Casia Siamea);
c. Pohon-pohon yang rimbun dengan cabang rendah.
c)      Timbunan 
 Bahan timbunan sebaiknya berupa tanah yang tidak mudah longsor dan tersedia di lokasi. Penerapan metoda ini umumnya dikombinasikandengan tanaman atau BPB lainnya. Timbunan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan BPB yang lain, seperti
  a. Penampilan yang alamiah dan indah; 
  b. Memungkinkan terjadinya sirkulasi udara yang baik;
  c.Dapat digunakan sebagai lokasi pembuangan sisa material bangunan;
  d.Tidak membutuhkan proteksi untuk keselamatan;
  e.Biaya pembuatan dan pemeliharaannya murah

Senin, 04 April 2011

Pemanfaatan Limbah Kulit Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Bioetanol

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis energi telah memicu meningkatnya harga bahan bakar di pasar Internasional. Berbagai masalah yang melatarbelakangi krisis energi ini dikarenakan perkembangan teknologi yang sangat pesat, banyak pembangunan pabrik disetiap negara, baik itu negara berkembang maupun negara maju sehingga bertambahnya alat-alat transportasi yang menggunakan bahan bakar. Upaya untuk mencari energi alternatif demi menggantikan bahan bakar yang semakin menipis telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Energi alternatif ini sangat membantu manusia sebagai pengganti bahan bakar fosil dan mengurangi polusi. Contoh energi alternatif adalah energi surya, energi hybrid, bioetanol, biomassa, energi angin, energi panas bumi dan sebagainya. (Baliyadi, 2002)

Dalam rangka menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri, telah dikeluarkan Peraturan Presiden RI tentang Kebijakan Energi Nasional No. 5 Tahun 2006. Dalam Perpres tersebut antara lain disebutkan bahwa penyediaan biofuel pada tahun 2025 minimal 5% dari kebutuhan energi nasional. Untuk menyiapkan penyediaan biofuel ini, telah dikeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006, dimana Menteri Pertanian ditugasi untuk: (1) mendorong penyediaan tanaman bahan bakar nabati (bioetanol), (2) melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (bioetanol), (3) memfasilitisasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati (bioetanol), dan (4) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanamanbahan baku bahan bakar nabati.

Bioetanol merupakan salah satu energi masa depan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam laporannya mengestimasikan bahwa 13% bahan bakar cair dibutuhkan pada tahun 2050 yang dipasok dari bioetanol tranportasi. Estimasi ini berdasarkan potensi teknologi dan ekonomi bioetanol. Bioetanol transportasi belum dapat menggantikan bahan bakar fosil secara total pada waktu dekat hanya sebagai solusi pengganti sebagian. ( Doornbosch and Steenblik, 2007). Bahan bakar nabati (BBN) atau bioetanol adalah bahan bakar transportasi berbasis komoditas pertanian yang biasanya digunakan untuk bahan makanan.

Gambar 1 Singkong sebagai bahan baku bioetanol

(Sumber: Hasil analisis, 2010)

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:

1.Mengetahui cara mengolah kulit ubi kayu menjadi bioetanol.

2.Memaparkan prospek pengembangan bioetanol dari kulit ubi kayu khususnya yang

berbahan pangan ubi kayu.

3.Mengetahui potensi pengembangan bioetanol dari kulit ubi kayu tersebut.

Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah :

1.Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kulit ubi kayu dapat

dimanfaatkan menjadi bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan

bakar fosil.

2.Memberikan informasi dan gambaran mengenai prospek pengembangan bioetanol

dari kulit ubi kayu tersebut.

3.Memberikan gambaran mengenai peluang usaha untuk mengolah kulit ubi kayu

menjadi bioetanol.


GAGASAN

II.1 Ubi Kayu (Mannihot esculenta)

Ubi kayu (Mannihot esculenta) termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Pemeliharaannya mudah dan produktif. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah. Ubi kayu dikenal dengan nama Cassava (Inggris), gadung ( Batak); Kasapen, sampeu, kowi dangdeur (Sunda); Ubi kayu, singkong, ketela pohon (Indonesia); Pohon, bodin, ketela bodin, tela jendral, tela kaspo (Jawa).

Kulit ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia (per 100 gram) antara lain : Kalori 146 kal, Protein 1,2 gram, Lemak 0,3 gram, Hidrat arang 34,7 gram, Kalsium 33 mg, Fosfor 40 mg, Zat besi 0,7 mg, vitamin B1 0,06 mg, Vitamin C 30 mg, tanin, enzim peroksidase, etanol, glikosida dan kalsium oksalat. Dari kandungan tersebut, kulit ubi kayu berpotensi menjadi bahan bakar bioetanol.

Fungsi singkong (ubi kayu) sudah mulai bergeser, dari penyediaan bahan pangan, berpotensi menjadi bahan baku untuk pengembangan bioetanol. Kebutuhan biotanol sampai dengan 2010 tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai 1,8 juta kilo liter. Demikian yang dilaporkan Mingguan Agro Indonesia, dalam seminar di Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. Dalam seminar yang berjudul Skenario Pengembangan Ubi Kayu Mendukung Program Pengembangan Energi Alternatif Bersumber dari bioetanol, J. Wargiono mengatakan bahwa untuk mendukung program tersebut perlu menggenjot produksi ubi kayu secara nasional hingga 15%. Lebih lanjut dikatakan bahwa besarnya kebutuhan industri agar pasokan bahan bakunya aman, memang sudah dihitung. Selain itu tidak semua propinsi wajib mengembangkan dan mengikuti skenario ini. Jika daerah-daerah tersebut terdapat daerah kantung-kantung kemiskinan dan kelaparan, prioritas utama untuk mendukung penyediaan bahan pangan. Ubi kayu merupakan salah satu sumber daya alam lokal Indonesia.

Bioetanol

Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium. Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Adapun manfaat pemakaian gasohol di Indonesia yaitu memperbesar basis sumber daya bahan bakar cair, mengurangi impor BBM, menguatkan security of supply bahan bakar, meningkatkan kesempatan kerja, berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan antar individu dan antar daerah, meningkatkan kemampuan nasional dalam teknologi pertanian dan industri, mengurangi kecenderungan pemanasan global dan pencemaran udara (bahan bakar ramah lingkungan) dan berpotensi mendorong ekspor komoditi baru.Bioetanol tersebut bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Adapun konversi biomasa tanaman tersebut menjadi bioethanol adalah seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 Konversi biomassa menjadi bioetanol Biomassa

Bahan

Jumlah biomassa (kg)

Kandungan gula (kg)

Jumlah hasil bioetanol (liter)

Biomassa : Bioetanol

Ubi Kayu

1.000

250-300

166,6

6,5 : 1

Ubi Jalar

1.000

150-200

125

8 : 1

Jagung

1.000

600-700

400

2,5 : 1

Sagu

1.000

120-160

90

12:1

Tetes

1.000

500

250

4:1

(Sumber : Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,2006)

Satu ton singkong dapat diolah menjadi 300 kilogram bubur singkong yang memiliki nilai jual Rp 2.350,- perkilogram chip. Artinya untuk setiap hektar dengan kapasitas 11,43 ton mampu menghasilkan penjualan sebesar Rp 8.058.150,-. Bubur singkong ini dapat diolah menjadi Bioetanol maupun diekspor langsung ke luar negeri seperti China.

Tabel 2. Potensi singkong sebagai Bioetanol

Jenis Tumbuhan

ProduksiMinyak (Liter per Ha)

Ekivalen Energi (kWh per Ha)

Manihot esculenta (singkong)

1.020

6.600

(Sumber : Purwanto, 2010)

Dari pemaparan tersebut, maka kulit ubi kayu juga dapat diolah menjadi bioetanol, karena kandungannya yang hampir sama dengan umbinya. Potensi keberhasilannya didukung dengan volume ubi kayu pada suatu daerah ( biasanya Indonesia bagian timur) yang menjadi ubi kayu sebagai bahan pangan.

Pengolahan Kulit Ubi Kayu menjadi Bioetanol

Kulit ubi kayu diambil dari industri pengolahan ubi kayu dan daerah berbahan pangan ubi kayu. Dibersihkan dan dicacah menjadi berukuran kecil-kecil. Singkong yang telah dicacah dikeringkan hingga kadar air maksimal 16%.,menyerupai singkong yang dikeringkan menjadi gaplek, tujuannya agar lebih awet sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku. Kemudian dimasukkan 25 kg gaplek ke dalam tangki stainless steel berkapasitas 120 liter, lalu tambahkan air hingga mencapai volume 100 liter. Selanjutnya dipanaskan gaplek hingga 1000C selama 0,5 jam, kemudian diaduk rebusan gaplek sampai menjadi bubur dan mengental. Dinginkan bubur gaplek, lalu dimasukkan ke dalam tangki sakarifikasi. Sakarifikasi adalah proses penguraian pati menjadi glukosa.

Setelah dingin, dimasukkan cendawan Aspergillus yang akan memecah pati menjadi glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong, perlu 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10% dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100-juta sel/ml. Sebelum digunakan, Aspergillus dikulturkan pada bubur gaplek yang telah dimasak tadi agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati. Dua jam kemudian, bubur gaplek berubah menjadi 2 lapisan: air dan endapan gula. Aduk kembali pati yang sudah menjadi gula itu, lalu masukkan ke dalam tangki fermentasi. Namun, sebelum difermentasi pastikan kadar gula larutan pati maksimal 17-18%. Itu adalah kadar gula maksimum yang disukai bakteri (Saccharomyces) untuk hidup dan bekerja mengurai gula menjadi alkohol. Jika kadar gula lebih tinggi, tambahkan air hingga mencapai kadar yang diinginkan. Bila sebaliknya, tambahkan larutan gula pasir agar mencapai kadar gula maksimum. Tutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan Saccharomyces bekerja mengurai glukosa lebih optimal.

Fermentasi berlangsung anaerob (tidak membutuhkan oksigen). Agar fermentasi optimal, jaga suhu pada 28-32 oC dan pH 4,5-5,5. Setelah 2-3 hari, larutan pati berubah menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein. Di atasnya air, dan etanol. Hasil fermentasi itu disebut bir yang mengandung 6-12 % etanol. Sedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein. Meski telah disaring, etanol masih bercampur air. Untuk memisahkannya, lakukan destilasi atau penyulingan. Panaskan campuran air dan etanol pada suhu 78 oC atau setara titik didih etanol. Pada suhu itu etanol lebih dulu menguap daripada air yang bertitik didih 100 oC. Uap etanol dialirkan melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut, diperlukan etanol berkadar 99% atau disebut etanol kering. Oleh sebab itu, perlu destilasi absorbent etanol 95% kemudian dipanaskan 100oC. Pada suhu tersebut, etanol dan air menguap. Uap keduanya kemudian dilewatkan ke dalam pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga diperoleh etanol 99% yang siap dicampur dengan bensin. Sepuluh liter etanol 99%, membutuhkan 120-130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.


Proses fermentasi menghasilkan dua tipe bioetanol: alkohol dan ester. Bahan-bahan ini secara teori dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil tetapi karena terkadang diperlukan perubahan besar pada mesin, bioetanol biasanya dicampur dengan bahan bakar fosil. Uni Eropa merencanakan 5,75 persen etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau jagung ditambahkan pada bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20 persen pada 2020. Sekitar seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002 adalah etanol.

Prospek Pengembangan Bioetanol dari Kulit Ubi Kayu

Petunjuk pelaksanaan pengembangan energi alternatif secara detail sudah diatur dalam dokumen Pengelolaan Energi Nasional (PEN). Didalamnya disebutkan mengenai rencana (roadmap) pengembangan seluruh jenis energi alternatif. Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan menerbitkan Inpres tentang biofuel (biodisel dan bioetanol) yang akan merinci insentif bagi pengembangan biofuel, termasuk instruksi kepada menteri-menteri untuk menindaklanjuti di departemen masing-masing.

Pengembangan perkebunan energi akan memberikan dampak bagi penghematan sumber energi tak terbarukan, meningkatkan ketahanan energi nasional dan berkurangnya biaya kesehatan akibat pencemaran udara serta akan membuka peluang usaha bagi masyarakat, di samping tujuan utamanya untuk mereklamasi lahan kritis yang ada. Untuk menjaga keseimbangan lingkungan (bioferacy), variasi komposisi jenis tanaman sangat dimungkinkan. Namun tetap harus diperhatikan jenis tanaman yang akan dipilih, sehingga diharapkan mampu mengangkat harkat plasma nutfah dari endemik ke taraf yang lebih tinggi. Dengan diterbitkannya tujuh izin investasi pembangunan pabrik energi alternatif (biodiesel dan bioetanol) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada pertengahan tahun 2005 yang lalu, yang akan memperkuat indikasi bahwa peluang bisnis di bidang bioenergi dan bioetanol sudah dilirik para investor, sehingga pengembangan perkebunan energi menjadi sesuatu yang menjanjikan, menguntungkan serta prospektif di masa yang akan datang. .


Potensi Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Bioetanol

Ubi kayu di Indonesia masih digolongkan sebagai hasil pertanian sekunder, karena sebagai makanan pokok, Indonesia masih sebagian besar mengutamakan beras. Walaupun sebagai hasil pertanian sekunder, tetapi produksi ubi kayu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jagung, dan ubi jalar yang juga berperan sebagai hasil pertanian sekunder. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel 3

Tabel 3 Perbandingan Produksi Bahan Baku Bioetanol

TAHUN

PRODUKSI (TON)

UBI KAYU

JAGUNG

UBI JALAR

2001

17.054.648

9.347.192

1.749.070

2002

16.913.104

9.367.980

1.771.642

2003

18.523.810

10.886.442

1.991.478

2004

19.424.707

11.225.243

1.901.802

2005

19.196.849

11.736.977

1799.78

(Sumber: Deptan, 2005)

Apabila dilihat secara lebih komprehensif, produksi ubi kayu Indonesia cukup besar dibanding Negara-negara lain. Laporan United Nation Industrial Development Organization (UNIDO) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia setelah Thailand, sementara didunia menempati urutan kelima setelah Nigeria, Brazil, Thailand, dan Kongo. Representasi tersebut menunjukkan potensi besar ubi kayu untuk dimanfaatkan menjadi produk olahan lain, baik pangan atau nonpangan. Salah satunya adalah pengembangan bahan bakar bioetanol dari kulit ubi kayu.

Pihak-Pihak yang Dapat Mengimplementasikan Gagasan

Gagasan ini dapat terwujud melalui partisipasi aktif pihak-pihak yang tercantum dalam tabel 4 berikut:

Tabel 4 Identifikasi pelaksana, sumber dana dan program konversi energi ke bioetanol

Pelaksanaan

Sumber dana

Program yang diterapkan

Lembaga khusus pengembangan keunggulan lokal dibawah Pemerintah daerah

Alokasi dana APBN dan APBD pemerintah untuk pengembangan daerah

Memberi pinjaman lunak kepada yang bergiat pada konversi energi dan menyiapkan kebutuhan yang digunakan khususnya yang belum terjangkau energi listrik

LSM (Lembaga Swadaya masyarakat)

Pengajuan usulan community development sebagai program CSR perusahaan yang berkelanjutan (peluang besar mendapatkan 3% dari total keuntungan perusahaan sesuai UU No. 27 tahun 2008 tentang program CSR perusahaan)

Penyuluhan kepada masyarakat tentang energi ramah lingkungan seperti penggalakan bioetanol

Kalangan akademisi (mahasiswa/Perguruan Tinggi)

Dana pinjaman dengan bunga rendah dari bank milik pemerintah

Pelatihan & pelaksanaan pembuatan alat-alat yang dapat menghasilkan energi listrik dari bahan baku bioetanol (kulit ubi kayu)

(sumber : hasil analisis, 2010)

Pemberian pinjaman lunak baik dari pemerintah maupun swasta dapat menstimulus masyarakat dalam mengembangkan bioetanol seperti pembuatan bioetanol dari kulit ubi kayu. Selain itu penyuluhan dan pelatihan dari para akademisi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pada masyarakat tentang prospek pengembangan bioetanol juga sangat berperan yaitu apabila mengembangkan bioetanol, selain dapat mengurangi limbah dan memperoleh energi listrik juga dapat meningkatkan pendapatan sampingan.

KESIMPULAN


Inti Gagasan

Ubi kayu adalah salah satu produk pangan negara Indonesia yang produksi bioetanolnya paling besar dibandingkan produk pangan yang lain. Dilihat dari segi konsumtifnya, pasti ada limbah berupa kulit dalam proses pengolahannya yang seringkali menjadi limbah. Dari komposisinya, kulit ubi kayu tidak berbeda jauh dari umbinya, sehingga kulit ubi kayu dapat diolah dan menghasilkan bioetanol.

Teknik Implementasi Gagasan

Langkah-langkah implementasi untuk mewujudkan kulit ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol adalah:

1. Identifikasi potensi pengembangan bioetanol yang berada pada suatu daerah

2. Melakukan pendekatan secara gradual (bertahap) kepada masyarakat dan memberikan penyuluhan manfaat bioetanol.

3. Konsultasi permasalahan yang terjadi dalam proses pelaksanaannya.

4. Melakukan kemitraan strategis dengan swasta yang memiliki prinsip yang sama sebagai modal awal pengembangan.

5. Penanaman kepercayaan kepada masyarakat bakal menjadi hemat dan menguntungkan dengan mengembangkan bioetanol.

6. Melakukan pemetaan daerah potensial pengembangan dalam daerah yang dituju.

7. Melakukan mekanisme evaluasi secara periodik dan professional.÷÷÷÷

Prediksi Keberhasilan Gagasan

Gagasan pengembangan kulit ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol secara ekonomis sangat menguntungkan bagi masyarakat, khususnya daerah yang berbahan pangan ubi kayu. Selain umbinya dapat dijadikan sebagai pangan, kulitnya dapat memproduksi bioetanol. Selain itu, penggunaan kulit ubi kayu secara langsung mengurangi limbah organik dari industri pengolahan ubi kayu. Keberhasilan dari gagasan ini nantinya ditentukan volume konsumsi ubi kayu dan luas lahan pertanian ubi kayu. Jika gagasan ini diterapkan secara konsisten diseluruh penjuru Indonesia, maka Indonesia tidak akan krisis energi.

Jika hanya 1 liter etanol adalah Rp.6000,- dan untuk membuat 1 liter etanol dibutuhkan 6 kg kulit ubi kayu saja atau setara dangan 60 kg ubi kayu, maka dengan lahan 1 ha kapasitas 11,43 ton didapatkan tanbahan pendapatan sebesar: 11,43 ton x

11430 kg x 6/60 kg x Rp. 6000,- = Rp 6.858.000,-

Dari pemaparan tersebut, jelas bahwa kulit ubi kayu dapat meningkatkan penghasilan, mengurangi ketergatungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi kuantitas limbah organik serta polutan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Sarmini, dkk. 2003. Membandingkan Emisi Gas Buang Bahan Bakar Solar dan Biodiesel. Jakarta: Erlangga

Amri, Idral. 2005. Dilema Biofuel sebagai Energi Alternatif. Jakarta: Erlangga

Anonim. 2006. Membangun Industri Beoetanol Nasional sebagai Pasokan Energi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Energi Global. (http://id.wikipedia.org/wiki/biofuel, diaks 21 November 2007).

Baliyadi, Y. W. Tengkano, Bedou dan Purwantoro. 2002. Validasi Rekomendasi

bidiesel. Agritek 16 (3) :492-500.

Bustaman, Sjahrul. 2009. Strategi Pengembangan Industri Biodiesel Berbasis Kelapa

di Maluku. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28 (2) :46-53.

Day, R.A.Jr dan Underwood,A.L. 1986. Kimia Analisis Kuantitatif. Jakarta :

Erlangga.

Darkuni, M Noviar. Tanpa Tahun. Mikrobiologim"Pertumbuhan Bakteri". Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Doornbosch, Richard and Steenbilk Ronald, 2007. Biufuels is the cure worse than the

disease.OECD Report

Fardiaz, S. 1998. Fisiologi Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar IPB.

Jansz, E.R, and C.Nethringha.,Manioc.,J. Nat Sci.Council Srilanka, Vol.1.,1973; 131-

138

Komang, Hermin. 2004. Evaluasi Daya Hidrolitik Enzim Glukoamilase dari Filtrat Kultur Aspergillus Niger. Kendari: Jurusan Kimia FMIPA UNHALU.

Nuralamsyah.2005. Perekonomian yang Selalu Menggiat.Jakarta. Erlangga

Kritoyo. 2002. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi dan Inkubasi Saccharomyces cerevisiae pada Proses Fermentasi Kulit Nanas. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).2006.

Agricultural Market Impacts of Future Growth In The Production of Biofuels.

Directorate for Food, Agriculture and Fisheries. Comitee for Agriculture.

Prastowo, B. 2007. Potensi Sektor Pertanian sebagai Penghasil Pengguna Energi

Terbarukan. Perpekstif Review Penelitian Tanaman Industri 6 (2):85-93.

Surwayono, Untung dan Olah Titisari. Perlakuan larutan alkali dan enzim selulase

pada onggok untuk fermentasi etanol. Badan pengkajian dan Penerapan

Teknologi 58 (1994); (1-13), tahun 1994.

Udea,S., T. Zenin., Dominggos, A.M., Young. K.P., Production of Ethanol from Row

Cassava Strach by A Convensional Fermentation Method., J. Biotech and

Bionergy Vol.28.,1981;291-299.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Ketua kelompok

Nama : Vijay Egclesias Girsang

NRP : 3309100086

Jurusan / Fakultas : Teknik Lingkungan/ FTSP ITS

Tempat, tanggal lahir : Pematang Siantar, 21 Juni 1991

Institut : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

HP : 085281579107

Alamat : Jl.Menteng VII, Gg. Sentosa, no. 26, Medan

Email : vegclesias@yahoo.co.id

Anggota

Nama : Jahn Leonard Saragih

NRP : 3309100069

Jurusan / Fakultas : Teknik Lingkungan/ FTSP ITS

Tempat, tanggal lahir : Sirpang Sigodang, 26 Juni 1991

Institut : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

HP :085232623643

Alamat : Jl. Kanoman 2 no. 102E, Gebang Lor

Email : leo_yfriends@yahoo.com

Anggota

Nama : Sadya Chandra Prapta

NRP : 3308100010

Jurusan / Fakultas : Teknik Lingkungan/ FTSP ITS

Tempat, tanggal lahir : Bunyu, 11 Juni 1990

Institut : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

HP :085247892341

Alamat : Jl. Batam, no 231, Balikpapan

Email : chandrasp116@yahoo.com